Bayangkan ada seorang anak kecil di tanah tandus Makkah pada abad ke-6. Ayahnya meninggal sebelum ia sempat melihat wajahnya. Ibunya pergi ketika ia baru berusia 6 tahun. Kakek yang mengasuhnya pun berpulang saat ia berusia 8 tahun. Dalam usia semuda itu, ia sudah merasakan getirnya hidup tanpa kedua orang tua. Anak tersebut kelak dikenal sebagai manusia yang membawa cahaya bagi dunia, Muhammad bin Abdullah.
Muhammad kecil diasuh oleh Pamannya, Abu Thalib. Siapa pun yang mengenalnya dengan sebenar-benar, akan jatuh cinta kepadanya. Allah menciptakan beliau sebagai sosok manusia rabbani. Ahli ibadah, rendah hati, berani, bermanfaat bagi orang lain, dan seimbang dalam segala aspek kehidupan. Kepribadiannya bukan hanya membekas di hati para sahabat pada zamannya, tetapi juga terus hidup sebagai teladan sepanjang masa.
Al-Qur’an menggambarkan beliau sebagai pribadi berakhlak agung.
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Bahkan kehadiran Nabi Muhammad SAW disebut Allah sebagai rahmat untuk seluruh alam.
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Dalam Surat Ad-Dhuha, Allah menegaskan kembali perjalanan hidup ini:
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberi petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberi kecukupan.” (QS. Ad-Dhuha: 6–8)
Teladan Kasih Sayang Nabi Muhammad SAW kepada Anak Yatim
Dari pengalaman itu, Nabi Muhammad SAW tumbuh menjadi pribadi yang lembut, penuh kasih sayang, terutama kepada anak-anak yatim. Beliau tau bagaimana rasanya kehilangan pelukan seorang ayah, perhatian seorang ibu, dan hangatnya rumah. Beliau tau bagaimana rasa sepi bisa membentuk luka yang tak terlihat. Karena itu, ketika beliau sudah menjadi Rasul, kasih sayangnya pada anak-anak yatim begitu besar.
Beliau pernah memeluk seorang anak yatim yang menangis di hari raya karena tak punya ayah, lalu berkata dengan penuh cinta, “Bukankah aku ayahmu, Aisyah ibumu, dan Fatimah saudaramu?” Sentuhan semacam ini menunjukkan betapa kasih sayang Rasulullah SAW bukan hanya ajaran, tetapi aplikasi dalam kehidupan yang beliau jalani setiap hari.
Bahkan beliau menjanjikan surga bagi siapa saja yang merawat anak yatim:
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini.” (sambil mengisyaratkan jarinya yang berdekatan). (HR. Bukhari)
Kasih sayang kepada anak yatim juga menjadi resep melembutkan hati. Nabi Muhammad SAW pernah berkata:
“Usaplah kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin.” (HR. Ahmad)
Pesan moralnya jelas, bahwa kepedulian itu bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Membantu anak yatim, para janda, dan kaum miskin sama mulianya dengan jihad di jalan Allah. Mengabaikan mereka adalah dosa besar yang diancam neraka.
Teladan ini sangat relevan bagi kita hari ini. Tidak semua orang mampu mengasuh anak yatim di rumahnya, tetapi setiap orang bisa menyalurkan kasih sayang dengan cara sederhana. Dengan menyapa, mendengarkan, membantu, atau menyisihkan sebagian rezeki untuk kebutuhan mereka.
Dari Nabi Muhammad SAW kita belajar: kehilangan bukan alasan untuk berhenti berbuat baik. Justru dari luka itu lahir empati. Justru dari kesulitan itu lahir keberanian untuk peduli. Beliau bukan hanya membawa risalah wahyu, tapi juga risalah kemanusiaan yang hangat dan penuh cinta.
Klik disini untuk bersama-sama membahagiakan anak yatim dan dhuafa. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.