Di tengah hiruk pikuk kehidupan, ada satu momen sederhana yang kerap luput kita sadari, yaitu memberi tanda cinta kepada guru. Mungkin lewat selembar surat, sekotak hadiah kecil, atau melalui doa. Namun, taukah sahabat? Bahwa tradisi mulia ini telah hidup sejak zaman Salaafus shalih.
Sebuah Kisah dari Sejarah
Dalam sejarah Islam, guru selalu menempati posisi mulia. Mereka bukan hanya pengajar ilmu, tetapi juga penuntun jiwa. Orang-orang shaleh terdahulu memahami betul bahwa menghormati guru berarti menghargai ilmu. Dan menghargai ilmu, berarti memuliakan yang memberi ilmu tersebut.
Salah satu teladan yang agung adalah Ali bin Abi Thalib r.a. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji, diceritakan bahwa beliau berkata:
“Aku menjadi hamba bagi orang yang mengajariku satu huruf ilmu. Terserah orang yang mengajariku, apakah ia mau menjualku, memerdekanku, atau tetap menjadikanku sebagai hambanya.”
Dalam riwayat lain, beliau juga pernah berkata:
“Barangsiapa mengajari aku satu huruf, maka baginya seribu dinar.”
Kata-kata ini bukan hanya ungkapan hormat, melainkan cerminan kerendahan hati seorang pencari ilmu. Bagi Ali bin Abi Thalib, guru adalah cahaya, dan setiap huruf ilmu yang diajarkan adalah bekal menuju kebaikan yang tak ternilai.
Dari teladan tersebut kita dapat belajar, bahwa menghormati guru tidak selalu diukur dengan kata-kata. Kadang, penghormatan itu hadir dalam bentuk perhatian, doa, atau pemberian kecil yang lahir dari hati. Sebab rasa terima kasih yang tulus, ketika diwujudkan dalam tindakan, akan menjelma menjadi kehangatan yang mengikat hati.
Maka, memberi hadiah kepada guru bukanlah tentang besar kecilnya bingkisan. Ia adalah bentuk penghargaan dan kasih sayang. Tentang terima kasih yang tak sempat diucapkan di kelas, tentang rasa hormat atas kesabaran yang tak terhitung. Zaman boleh berganti, teknologi berkembang, tapi makna cinta kepada guru tak pernah lekang. Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Tahaadû, tahaabbû.”
“Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.”
(HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 6/169, hasan)
Hadiah, bukan sekadar memberi sesuatu. Ia adalah jembatan hati. Ia menghapus jarak, meluruhkan iri, dan menumbuhkan cinta.
Makna yang Tak Pernah Usang
Maka, tradisi memberi hadiah kepada guru bukan soal besar kecilnya bingkisan, melainkan tentang penghargaan terhadap ilmu dan pengabdian mereka. Para sahabat meneladankan bahwa ketika seseorang menanamkan ilmu, ia layak diberi cinta dan hormat.
Zaman berubah, bentuk hadiah berganti, tetapi makna cinta kepada guru tak pernah lekang. Kini kita membawa “Bingkisan Cinta untuk 1000 Guru.”
Bingkisan Cinta yang Menyambung Doa
Di tengah ruang-ruang kelas yang mungkin sudah usang, di pelosok desa hingga sudut kota, masih banyak guru yang mengajar dengan semangat, penuh cinta, sabar, dan doa. Tangan mereka yang menulis di papan tulis adalah tangan yang sedang menanam ilmu, yang kelak akan menjadi amal jariyah yang tak terputus.
Maka, “Bingkisan Cinta untuk 1000 Guru” bukan hanya soal berbagi. Ia adalah tanda cinta. Sebuah cara kecil untuk berkata, “Terima kasih, karena engkau telah menyalakan cahaya dalam gelap kami.”
Jejak Cinta yang Terus Mengalir
Hadiah, merupakan bahasa kasih antara murid dan guru. Dan hari ini, di bumi Nusantara, kita sedang menghidupkan kembali bahasa cinta itu. Ketika seribu guru menerima seribu bingkisan, semoga mereka tau bahwa ada seribu doa yang menyertai, ada seribu hati yang bersyukur, dan ada satu teladan agung yang kita ikuti, Rasulullah ﷺ, sang guru sejati yang mengajarkan bahwa cinta dan ilmu tak bisa dipisahkan.
Klik disini untuk ikut berkontribusi bersama Relawan Nusantara melanjutkan warisan kasih ini. Satu bingkisan mungkin tak mampu membalas seluruh jasa, tapi ia bisa menjadi tanda kecil dari rasa terima kasih yang besar.